MUHASABAH

on Minggu, 21 Agustus 2011

MUHASABAH

Kehidupan modern dengan berbagai informasi bisnis dan teknologi (lewat iklan), cenderung mengarah pada terbentuknya pola hidup yang berorientasi pada nilai-nilai materialistik, individualistik dan konsume-risme. Menghadapi kondisi kehidupan yang demikian, tidak mustahil bagi yang lemah imannya terjangkit penyakit "cemburu/iri-hati/berprasangka buruk" ter-hadap kelebihan materi/rizki orang lain; mengalami tekanan kejiwaan atau "stress" yang sangat berat; atau melakukan perbuatan-perbuatan nekad, me-nempuh jalan pintas ("budaya menerabas") untuk mencapai tujuan tertentu.

Dampak negatif demikian dapat kiranya ditangkal, sekiranya kita memahami dan menghayati nilai keimanan yang terkandung dalam tuntunan Al-Qur'an, surat An-Nisaa': 32 :

Dan janganlah kamu irihati terhadap apa yang dikaruniakan/ ditetapkan Allah kepada sebagian kamu lebih dari sebagian yang lain, (karena) bagi orang laki-laki dan perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu ".


Dalam ayat di atas digunakan kata-kata "fadhdho-lallaah" (yang ditetapkan/dilebihkan Allah). Kata "fadhola" atau "afdhol" secara harfiah dapat berarti "ditetapkan" (to remain) atau "lebih baik" (better than). Apa "yang ditetapkan" atau "dilebihkan" Allah itu dapat berupa "rizki harta/kekayaan, pangkat/kedudukan, ilmu/gelar, kecantikan/ ketampanan dsb.".

Jadi ajaran keimanan menuntun kita untuk tidak perlu iri terhadap kelebihan orang lain; dan oleh karena itu tidak perlu stress dan tidak perlu mengambil jalan pintas dengan melakukan perbuatan tidak terpuji.

Sebaliknya, bagi orang yang mendapat "kelebihan rizki" dari Allah, agama juga memberikan tuntunan untuk tidak terlalu individualistik, tetapi harus juga memberikan/meratakan rizkinya kepada orang lain yang berhak. Perhatikan misalnya tuntunan di dalam Q.S. An-Nahl: 71:

"Dan Allah "melebihkan" sebagian kamu dari yg. lain dalam hal rizki, tetapi orang-orang yg. dilebihkan (rizkinya) itu tidak mau memberikan kepada budak-budak yang mereka miliki (bisa dibaca: "karyawan", pen.) agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?".

0 komentar:

Posting Komentar